Waspadai Kesenjangan, Pertumbuhan Bisa Berbentuk ”K” akibat Pandemi

21 Sep 2021
Pandemi berpotensi menciptakan ketimpangan ekonomi dengan pertumbuhan serupa huruf ”K”. Kelompok atau negara yang memiliki keistimewaan akses bisa melonjak naik. Sebaliknya, mereka yang tak punya, justru akan turun.
 
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 diprediksi memperlebar jurang kesenjangan antara pihak yang memiliki akses digital dan keuangan dengan mereka yang tidak punya atau terbatas aksesnya. Kesenjangan diprediksi akan membentuk pertumbuhan dengan model menyerupai huruf ”K”.
 
Seperti percabangan huruf ”K”, kelompok atau negara yang memiliki keistimewaan akses akan melonjak naik, sedangkan mereka yang tidak memilikinya justru akan terus turun.
 
Vice President Asian Development Bank (ADB) Bambang Susantono menyampaikan hal itu dalam webinar Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) XXI dan Seminar Nasional 2021 bertajuk ”Peran ISEI dalam Penguatan Sinergi untuk Mengakselerasi Pemulihan Ekonomi Nasional di Era Digital”, Selasa (31/8/2021).
 
Selain Bambang, hadir memberikan kata kunci Presiden Joko Widodo, Ketua Umum ISEI yang juga Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, dan Pelaksana Tugas Gubernur Sulawesi Selatan Andi Sudirman Sulaiman. Hadir sebagai pembicara Menteri Keuangan Sri Mulyani, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid, Executive Secretary United Nation-Economic and Social Commision for Asia and the Pacific (UN-ESCAP) Armida Alisjahbana, Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) Reini Wirahadikusumah, dan Chief Executive Officer Madeinindonesia.com Ilyas Bhatt.
 
Bambang menjelaskan, sebelum pandemi, dunia ekonomi mengenal pertumbuhan dengan model berbentuk seperti huruf V, di mana kondisi sempat merosot tetapi dengan cepat melonjak tumbuh kembali. Selain itu, dunia juga mengenal pertumbuhan dengan model seperti simbol centang atau simbol merek olahraga Nike, di mana pertumbuhan sempat merosot, tetapi perlahan bangkit.
 
Akan tetapi, saat ini dunia harus mewaspadai pertumbuhan bercabang seperti huruf K akibat pandemi Covid-19. Menurut Bambang, seperti percabangan huruf ”K”, negara atau kelompok yang memiliki keistimewaan akses ini bisa melonjak naik. Sedangkan mereka yang tidak memiliki akses akan terus mengalami penurunan.
 
Hal itu terjadi karena pandemi memicu terbentuknya ekosistem yang mengharuskan penggunaan digital dalam setiap aspek kehidupan. Mereka yang tidak memiliki kemudahan untuk akses digital akan semakin terpuruk dan tertinggal. ”Tentu kita tidak ingin kesenjangan ini melebar. Kita harus mewaspadai gejala dan fenomena pertumbuhan huruf K ini,” ujar Bambang.
 
Ia menjelaskan, pertumbuhan model huruf K ini menjadi semacam antitesis pendapat sebelumnya bahwa digitalisasi seharusnya mengikis kesenjangan. Namun, rupanya kini malah sebaliknya. ”Pertumbuhan ekonomi itu seharusnya inklusif, dinikmati semua orang tanpa terkecuali, dan tidak ada yang tertinggal,” ujar Bambang.
 
Menurut Armida, pandemi membuka tabir kerapuhan sistem ekonomi, kesehatan, dan perlindungan sosial sebuah negara. Ada negara-negara yang merespons dengan cepat dan menanggulangi pandemi, ada pula yang lambat. Hanya mengandalkan pandemi segera berlalu dan ekonomi berangsur pulih saja tidak cukup menciptakan perekonomian yang stabil dan berkelanjutan untuk jangka panjang.
 
Berkaca dari hal itu, reformasi struktural perekonomian harus dilakukan. Perubahan itu, antara lain, menciptakan kebijakan ekonomi hijau yang berfokus pada pembangunan sosial dan lingkungan yang berkelanjutan. ”Menciptakan sistem ekonomi yang tangguh, berkelanjutan, dan inklusif,” ujar Armida.
 
Presiden Joko Widodo mengatakan, pemerintah berkomitmen melakukan reformasi struktural untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif, salah satunya melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Hal ini jadi momentum mengubah Indonesia dari negara yang memiliki ketergantungan konsumsi menjadi negara produsen.
 
Pemulihan ekonomi
Sri Mulyani menjelaskan, negara hadir dalam pemulihan ekonomi, salah satunya diwujudkan melalui postur APBN yang banyak dialokasikan untuk Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Pada 2020, pemerintah mengalokasikan Rp 692,5 triliun dana PEN dan meningkat pada 2021 menjadi Rp 755,77 triliun.
 
Kenaikan ada pada pos untuk perlindungan sosial, yakni dari Rp 153,86 triliun menjadi Rp 187,84 triliun dan pos kesehatan dari Rp 193,93 triliun menjadi Rp 214,95 triliun. Sementara dalam Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2022 dialokasikan Rp 699,4 triliun.
”Ini menunjukkan fiskal bekerja sangat keras untuk mendorong kembali pemulihan ekonomi nasional,” ujar Mulyani.
 
Perry menjelaskan, ada empat strategi pokok yang bisa dilakukan anggota ISEI dalam merespons kondisi saat ini. Yang pertama adalah memperkuat strategi pemulihan ekonomi nasional melalui sinkronisasi pelonggaran PPKM serta koordinasi kebijakan fiskal dan moneter.
 
Yang kedua, mendorong inovasi dan implementasi kebijakan struktural, seperti  hilirisasi sumber daya alam, pembangunan ekonomi kreatif, dan peningkatan kapasitas kewirausahaan. Ketiga, mempercepat digitalisasi ekonomi dan keuangan. Serta yang terakhir, optimalisasi pemberdayaan pengurus dan anggota ISEI.
 
Menurut Arsjad, pemulihan ekonomi sama pentingnya dengan memulihkan kesehatan masyarakat. Keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain.